Dunia Dalam Gengaman
Kemajuan teknologi telah dirasakan
merambah dalam segala bidang kehidupan. Semua asepk kehidupan sudah tidak lagi
dapat dipisahkan dari perkembangan teknologi. Manusia dalam belajar, berlari,
makan, minum, bekerja, santai dan segudang aktifitas lain dilayani mesin.
Manusia dihadapkan dengan kehidupan serba canggih, seba cepat dan serba
dinamis. Penguasaan teknologi menjadi harga mati untuk masuk dan menghadapi
persaingan.
Kemajuan juga tidak hanya sebatas
pada kehidupan dunia industry saja, dunia pendidikan juga memperoleh kemajuan
yan dihembuskan di abad 21 ini. Sistem pendidikan e-learning
menjadi jargon yang digaungkan seluruh instansi pendidikan yang ingin bersaing
di ranah internasional. Digital conference, digital class, long distant
learning, dan berbagi prodak lain ditawarkan untuk menjadi solusi dalam
menghadapi keterbatasan ruang dan waktu. Siswa tidak perlu lagi datang ke
kelas. Presensi, materi, bahan ajar, tugas, evaluasi bisa dilakukan pendidik
dari manapun dibelahan di dunia ini, asalkan mereka terkoneksi ke dalam satu
jaringan super luas “internet”. Portable computer, I-Pad, Android, Smart Phone,
dan berbagi jenis gadget lain menjadi barang yang wajib dimiliki. Dunia seolah-olah
ada dalam genggaman, jari-jari dapat membawa kita berkelana kemanapun ketempat
yang kita mau.
Dengan kemajun yang sangat cepat,
peserta didik boleh sekolah dimana saja bahkan jauh dari negara tempat dia
berada. Sitem Open University dan long distant Learning tadi
menjadi solusinya. Batas budaya menjadi bisa dirasakan, batas negara tidak
berarti apa-apa selain menjadi batas kedaulatan secara de Jure. Kita
dapat mengakses pendidikan dimanapun di sekolah di dunia ini, asal kita mampu
bersaing.
Kemajuan dalam pendidikan seperti
yang telah dijelaskn tadi tentu membawa dampak dalam dunia konseling. Khususnya
konseling dalam dunia pendididkan. Karena keterbukaan begitu terasa
dimana-mana, konselor pada akhirnya dihadapkan dengan peserta didik yang
majemuk secara budaya. Banyak siswa yang pergi ke luar kota, bahkan pergi ke
berbagai negara untuk mencari pendidikan. Banyak diantara mereka yang dapat
menyesuaikan diri dengan baik dengan budaya baru di luar budaya asal mereka.
Namun, tidak sedikit dari mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan
baik. Bahkan ada diantara mereka yang mengalami culture lag
(ketertingalan/ketimpagan budaya) (J.P Chaplin, 2011: 120). Mereka tidak hanya
tidak mampu menyesuaikan diri namun menjadi sumber masalah karena mengalami pergesekan
dengan budaya lain sesama pendatang.
Bagaimana dengan Pelayanan Konseling
Pelayanan konseling menjadi suatu
pekerjaan rumah yang sangat besar. Konseling harus mampu juga bertransformasi
dalam perkembangan teknologi yang begitu pesat. Isu konseling di dunia maya (e-counseling/
cyber counseling), makin deras dirasakan. Mahasiwa dan pelajar yang
melangsungkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) tentu akan memiliki keterbatasan
waktu untuk bertemu langsung dengan konselor. Jangankan dengan konselor, dengan
pendidik dan pengampu mata pelajaran/kuliahpun bisa dihitung dengan jari. Tentu
hal ini berdampak besar dalam dunia konselor. Kondisi pembelajaran akan merujuk
kepada kondisi yang majemuk, multikultural, dan akan dihadapkan pada perbedaan
budaya yag sangat kompleks.
Jika dihadapkan dengan kondisi di
atas tadi, konselor harus tetap mampu memberi pelayanan kepada seluruh konseli
dari seluruh kebudayaan dan latar kehidupan yang ada. Universalisme pelayanan
tetap menjadi acuan untuk mampu dilaksanakan. Konsling yang memahami kondisi
latarbelakang kebudayaan konseli menjadi solusi untuk menjamin pelyanan tetap
berlangsung dengan baik. Atas kebutuhan ini pula, kemudian lahir studi mengenai
konseling lintas budaya. Di Indonesia saja, terdapat lebih dari 1.000 etnis dan
700 bahasa. Dengan demikian naif jika psikologi—dan konseling tentunya—yang
diterapkan di Indonesia disamakan dengan masyarakat di belahan dunia lain.
(Sarlito W. Sarwono, 2014).
Pemahaman mengenai latar belakang
konseli perlu dilakukan secara mendalam dan dilakukan dengan baik oleh
konselor. Hal ini tidak menandaskan bahwa konselor harus menguasai dan memahami
segalanya mengenai konseli. Yang terpenting adalah konselor memiliki beberapa
bekal untuk mampu melaksanakan pelayanan dengan baik. Kemampuan dalam mendalami
konseli dari segi budaya dapat membantu konselor memberikan arahan yang tepat.
Atas dasar itu konseling lintas budaya menjadi hal yang penting untuk dikuasai
oleh konselor (Anak Agung Ngurah A, 2013). Memahami nilai dasr dari budaya
konseli mampu menjadi solusi dalam memahami kemajemukan konseli dan merupakan
usaha untuk memberikan pelayanan yang terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Chaplin, J.P. 2011. Kamus
Lengkap Psikologi Terj. Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers.
Adhiputra, Anak Agung Ngurah. 2013.
Konseling Lintas Budaya.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2014. Psikologi
Lintas Budaya. Jakarta: Rajawali Pers.
0 komentar:
Posting Komentar