Meninjau Ke Belakang Mengenai Profesi Konselor
Kelahiran kurikulum 2013 membawa
angin segar untuk profesi konselor. Kenapa begitu? Tentu alasannya karena
Kurikulum 2013 memberikan arahan yang nyata dalam pelaksanaan layanan bimbingan
dan konseling yan akan dijalankan di instansi pendidikan. Melalui Lampiran IV A
Implementasi Kurikulum 2013, profesi konselor diakui secara jelas sebagai
pelaksana layanan dan bimbingan di satun pendidikan.
Kita telah maphum bersama bahwa
profesi konselor lahir pertama kali di Amerika serikat pada awal abad ke 20
(Shertzer dan Stone dalam Raka Joni, 1987 : 1). Latar belakang lahirnya
konseling pada saat itu adalah keterkejutan orang Amerika atas persaingan dalam
berbagai bidang dengan Uni Soviet. Salah satu kemajuan tersebut adalah dalam
bidang peluncuran satelit ke luar angkasa. Orang Amerika bertekad untuk
mengejar kemajuan yang dicapai oleh Uni Soviet dengan segenap potensi yang ada.
Salah satu yang didorong untuk mengembangkn potensi secara maksimal adalah
peserta didik yang masih di bangku SMA. (Ibid,
1987: 1).
J. M. Lesmana (2013: 7) menjelaskan
bahwa konseling berasal dari gerakan Guidance.
Yang memfokuskan pada megajar anak-anak dan orang dewasa muda tentang dirinya
sendiri, orang lain dan dunia kerja. Sukardi (2002 : 2) menjelaskan bahwa
permulaan gerakan ini adalah dengan didirikannya “Vocational Bureau” tahun 1908 oleh Frank Person. Frank Person
sendiri kemudian dikenal dengan The Father
of Guidance. Parson menekankan pentingnya setiap individudiberikan
pertolongan agar mereka dapt mengenal atau memahami berbagai kekuatan dan
kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara
intelegensi dalam memilih pekerjaan yang tepat bagi dirinya.
Perkembangan terus berlanjut, akhirnya pada 1913 terbentuklah “National Vocational Guidance Association
(NVGA).” Dua tahun setelah pendiriannya, NVGA mulai menerbitkan buletin
mengenai konseling yang sekaligus menjadi literatur yang mengidentifikasi
profesionalisme gerakan konseling ini. Pada Perang Dunia I, terdapat moment
penting dimana U.S. Army menyaring
personelnya dimana salah satu alat seleksi tersebut menggunakan berbagai macam
instrument psikologi. Instrumet itu setelah Perang Dunia I digunakan di
kalangan sipil dan kemudian gerakan psikometri menjadi popular. Sekitar
pertengahan 1920, sertifikasi konselor mulai diberlakukan di Amerika. Sepuluh
tahun kemudian E.G Williamson dk mengembangkan teori konseling pertaman. Pada Perang
Dunia II pemerintah Amerika memerlukan konselor dan psikolog untuk membantu
menyeleksi dan melatih spesialis-spesialis di bidang militer dan industri. (J.
M. Lesmana, 2013 : 8).
Pasca PD II ini, profesi konselig mulai menyebar ke seuruh penjuru dunia termasuk
Indonesia. Di Indonesi kelahiran Bimbingan dan konseling dimuali dengan lahirnya
Institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) sebagai gabungan IPG dan FKIP pada
tahun 1963. Pada tahun yang sama lahir
pula dari jurusan bimbingan dan penyuluhan. Perkembangan kemudian adlah dengan
diberlakukannya Kurikulum SMA Gaya Baru 1964, dengan keharusan pelaksanaan
bimbingan dan konseling (bimbingan dan konseling pad masa itu masih bernama
bimbingan dan penyuluhan). Kurikulum 1968 kemudian lahir menggantikan kurikulum
lama dan proses bimbingan dan konseling juga mengalami berbagai penyempurnaan
dari tahun seelumnya. Tahun 1975 lahirlah IPBI sebagai ikatan profesi konselor
pada masa itu (Dewa Ketut, 2002 : 8). Penyempurnaan terus berjalan sampai sekarang
melalui kurikulum 2013.
Berawal dari Tinjauan diatas
Jika dilihat dari tinjaun diatas
tentu saj dunia konseling lekat dengan pemberian layanan di Instansi
pendidikan, meskipun pada kenyataannya dewasa ini konselor juga banyak yang
meniti karir di luar Instansi Pendidikan. Banyak faktor yang mengakibatkan
“sang konselor” tidak meniti karir di Sekolah. Mulai dari masalah gaji, beban
kerja, beratnya tanggung jawab, dan bakan kerena banyaknya masalah yang di
hadapi di instansi pendidikan.
Misalnya saja jika di urai dari awal,
banyak sekali kesalah pahaman yang muncul dalam memandang profesi konselor.
Untuk istilah konseling saja, mash banyak yang bias dan menganggap simpang siur
antara istilah penyuluhan dan konseling iu sendiri. Padahal tentu diantara
keduanya sangat jelas bisa dibedakan. (Prayitno dan Amti, 2009: 120). Kesalah
phaman tidak berhenti sampai disana, Pryitno dan Amti (2009, 121-129),
mengemukakan bahwa setidaknya ada 15 kesalahpahaman dalam memandang Profesi
konselor. Kesalahpahaman itu ialah:
- Bimbingan dan Konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan;
- Konselor di Sekolah dainggap sebagai Polisis Sekolah;
- Bimbingan dan Konseling dianggap sebagai semata-mata proses pemberian nasihat;
- Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya mengenai masalah yang bersifat insidental;
- Bimbingan dan Konseling di batasi hanya untuk klien-klien tertentu saja;
- Bimbingan dan Konseling melayani “Orang Sakit” dan atau “Kurang Normal”;
- Bimbingan dan Konseling bekerja sendiri;
- Konselor harus aktif sedangkan pihak lain harus pasif;
- Menganggap pekerjaan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa saja;
- Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama saja;
- Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan dokter atau psikiater;
- Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera dilihat;
- Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien;
- Memusatkan usaha bimbingan dan Konseling hanya pada pengunaan Instrumentasi Bimbingan dan Konseling (Misalnya Tes Inventori, Angket dan sebagainya);
- Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menanganai masalah-masalah ringan saja.
Untuk point
sebelas, dimana profesi konselor masih dianggap sama dengan profesi psikiater
atau psikolog maka sebenarnya kita dapat menganalisis perbedaan dianatar
ketiganya. Adapun perbedaanya dpat dilihat pada tabel berikut ini:
No
|
Karakteristik Layanan
|
Konselor
|
Dokter [1]/Psikiater
|
Psikolog
|
1
|
Pendidikan dan Latar Belakang Keilmuan
|
S1 BK/S2 BK + Profesi Konselor
|
S1 Kedokteran + Spesialis Kesehatan
Jiwa
|
S1 Psikologi /S2 Psikologi +Profesi
Psikolog
|
2
|
Gelar Akademis
|
S.Pd, Kons./
M.Pd, Kons/
M.A in Counselling.
|
Dr. Sp. KJ
|
S.Psi, Psikolog/ M.Psi, Psikolog
|
3
|
Fokus Kerja
|
Individu Normal bermasalah (cakupan pelayanan lebih luas
dari pada guru BK)
|
Individu yang mengalami gangguan
kejiwaan dikarenakan perubahan-perubahan
biologis atau fisiologis yang terjadi dalam diri individu
|
Individu yang bermaslah dikarenakan
adanya kondisi kejiwaan yang tidak berjalan baik di dalm dirinya.
|
4
|
Rujukan Pelayanan
|
Memberikan konseling berdasarkan
berdasarkan keilmuan konseling.
|
Memberikan resep obat-obatan untuk
mengembalikan fungsi biologis dan atau fisiologis.
|
Memberikan pelayanan dan analisis
kejiwaan berdasarkan pola asuh, analisis tumbuh kembang dan lain-lain.
|
5
|
Asumsi Dasar Layanan
|
Setiap
manusia memiliki kapasitas penuh untuk menentukan hidupnya ke arah yang
positif dan konstruktif
|
masalah
kejiwaan manusia disebabkan karena atau menyebabkan ketidakseimbangan
fungsi-fungsi fisiologis (neurotransmiter, hormon, dsb.)
|
setiap manusia memiliki kapasitas untuk
berpikir dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya
|
6
|
Asosiasi Profesi di Indonesia
|
ABKIN (Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia)
|
PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia)
|
HIMPSI
(Himpunan Psikolog Indonesia)
|
[1] Dokter dalam hal ini
adalah mereka yang telah menempuh spesialis kesehatan jiwa (Sp.K.J) atau yang
kemudian dikenal dengan psikiater. Dokter umum tidak dapat dibandingkan dengan
jelas dengn profesi konselor.
J.M Lesmana
menjelaskan bahwa profesi konselor mungkin akan menemui beberapa masalah.
Masalah itu diantaranya adalah:
Kebosanan dapat menyerang Konseli dan Konselor Sumber Gambar: http://thewvsr.com/wp-content/uploads/2012/04/bored1.jpg |
A.Kebosanan.
Cavanagh dalam J.M Lesmana (2013:71-73) menjelaskan bahwa
konselor pemula jarang mengalami kebosanan karena sifat baru dari pekerjaan
mereka. Konselor pemula akan dipertemukan dengan berbagai masalah yang beragam
yang menuntut cara penyelesaian yang bervariasi pula. Namun, seperti halnya
tingkah laku lain yang terus berulang, konseling dapat membosankan. Misalnya
saja, setelah konselor bertemu dengan konseli yang mengeluh depresi ia
kehilangan antusias dan konselor seolah-olah telah paham bentul dengan masalah
yang dipaparkan. Kebosanan juga tidah hanya dapat dirasakan oleh konselor namun
juga oleh konseli. Masalaah yang mungkin timbul karena adanya kebosanan:
- Konselor mengambil jarak dari konseli, sehingga konseli kehilangan rasa aman dan rasa diterima padahal hal ini penting untuk proses konseling.
- Konselor terkadang mengambil carra negtif untuk menyelesaikan kebosanannya, misalnya saja dengan day dreaming. Konselor juga setelah mengalami kebosana banyak yang seolah mendengar dengan “sebelah telinga” saja. Ia memberikan impresi yang menunjukan atentif namun kebanyakan tidak alami, bahkan ada yang seolah “menyerang konseli” supaya konseling berlangsung menyenangkan.
- Konselor dapat kehilangan informasi penting (kehilangan esensi) dari proses konseling serta dari masalah yang akan dientaskan. Hal ini karena konselor kurang perhatian, kurang konsentrasi dan mungkin malah memikirkan masalahnya sendiri.
Ada beberapa solusi untuk menyelesaikan masalah kebosanan
ini, diantaranya:
- Mengkomunikasian perasaan konselor dengan baik. Misalnya jika sedang dilanda kebosanan konselor mengkomunikasikannya dengan berkata “maaf saya baru tidak konsentrasi hari ini.”
- Mengatur jadwal agar proses konseling dilakukan pada jam-jam ketika konselor dalam posisi “awas”.
- Konselor juga dapat memecahkan kebosanan dengan memberi tugas kepada konseli untuk membaca dan atau membuat catatan-catatan mengenai perasaan, masalah, perkembangan konseling dan sebagainya yang kemudian akan di bicarakan pada sesi konseling selanjutya.
- Konseler harus peka dan instropeksi bahwa mungkin saja sesi konseling yang membosankan timbul dikarenakan beberapa sikap konselor yang salah, misalnya terlalu banyak bicara dan ataau terlalu fokus kepada satu teori yang disukai konselor.
B. Hostilitas
J.P. Chaplin (2011: 230) menjelakan mengenai makna
hostilitas (hostility) dalam Bahasa Indonesia
hostilitas dimaknai dengan permusuhan, namun makna yang mendalam dari
hostilitas adalah kecenderungan ingin menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan
atau kerusakan pada orang-orang lain, kecenderungan melontarkan rasa kemarahan
pada orang lain. Dari pemaknaan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud hostilitas adalah keadaan diaman si konselor atau konseli menyerang,
merepleksikan permasalahan yang dihadapinya (baik kejiwaan atau lain
sebagainya), atau yang dihadapi orang lain kepada orang yang tidak tepat.
- Banyak sekali faktor yang memungkinkan munculnya hosttilitas diantaranya:
- Hostilitas muncul sebagai upaya menutupi ketakutan yang mendalam terhadap sesuatu proses konseling.
- Hostilitas muncul dari Frustrated need (resistansi/daya tahan terhadap stres rendah).
- Hostilitas muncul sebagai bentuk simbolisasi dari konflik internal atau ekternal dari diri konseli/konselor.
- Hostilitas juga mungkin mncul dari tekanan yang sangat intens (Intense Pressure).
- Hostilitas muncul karena konselor hanya melihat satu sisi saja dari konseli.
Konselor banyak sekali yang menjadi
korban hostilitas dari konseli. Proses konseling yang kadang mengakibatkan
munculnya inside (tilikan) mendalam
mengakibatkan konseli menganggap bahwa konselorlah yang membawanya kembali ke
masalah yang ia tidak sukai. Konselor harus berusaha memahami berbagai
kemungkinan yang mengakibatkan ia menjadi sasaran hostilitas. Konselor juga
harus mewaspadai berbagai kemungkinan yang menyebabkan ia menumpahkan
hostalitas kepada konselinya.
C. Berbagai Kesalahan Konselor
Nuansa pekerjaan konselor yang menghadapkan ia pada
berbagai analisis pribadi yang beragam yang sulit diukur dengan tepat, dan
sulit dipahami dengan tepat sangat rentan menebaak konselor dalam suatu
kekeliruan atau kesalahan. Kesalahan penafsiran, kesalahan dalam menetukan
arahan, kesalahan dalam memahami berbagai perasaan klien merupakan beberapa
kesalahan yang mungkin terjadi. Kesalahan yang terjadi harus disadari dan
dijadikan sebuah pembbelajaran yang bererati. J.M Lesmana (2013: 76)
menguraikan berbagai langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesalahan.
Langkah itu meliputi:
- Salah satu kesalahan konselor adalah lemah dan tidak tegas. Konselor yang tidak tegas dan terlalu menuruti konselinya dapat menyebabkan permasalahan menjadi berlarut-larut dan tidak cepat terentaskan.
- Kesalahan lain yang biasa ditemui dalam diri konselor adalah konselor tidak mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Cavanagh (1982) mengatakan bahwa konselor yang sudah pakar pun tidak ada jaminan untuk tidak berbuat salah. Perbedaan diantara konselor yang efektiv atau tidak efektiv adalah bukan tiadanya kesalahan yang dibuat. Namun mau attau tidaknya mengakui dan memperbaiki kesalahan yang sudah di buat.
Ada 4 cara konselor tidak mengakui keslahan yaitu (1)
tidak pernah mengambil resiko; (2) menyangkal bahwa ada masalah di dalam
konseling; (3) masalah yang timbul merupakan masalah konseli; (4) percaya pada
mitos (dogma) bahwa dalm konseling “tidak ada kesalahan”.
Konselor
yang efektiv mengakui bahwa membuat kesalahan karena 4 alasan yaitu (1) mereka
jujur, dan kejujuraan menuntut untuk mengakui kesalahan; (2) orang yang
terlibat dalam konseling (konselor maupun konseli) harus sama sama memahami
jika terjadi kesalahan, pemahaman dilanjutkan dengan menganalisa siapa yang
mebuat kesalahan itu, analisa kesalahan ini bertujuan untuk mengkoreksi dan
melakukan perbaikan sehingga kesalahan yang sama bisa dihindari; (3) konselor
mengakui kesalahannya sebagai cara untuk mengajar konseli bahwa kesalahan bisa
dditerimadan pentingnya untuk mengakui kesalahan itu kepada orang lain; (4)
konselor tahu bahwa konseli mengetahui konselor telah berbuat satu kesalahan
sehingga konseli menungggu konselornya unttuk merasa nyaman dan mengakui
kesalahan tersebut.
D. Manipulasi
Manipulasi atau pengelabuan dan pencurangan merupakan kesalahn yang juga
sering terjadi dalam konseling. Manipulasi ini dapat terjadi dari konselor
terhadap konseli dan atau sebaliknya. Konseli banyak yang memanipulasi
masalahnya, seolah-olah masalah yang sedang dihadapi adalah masalah rumit,
terlalu sulit dipecahkan dan sebagainya, manipulasi juga bisa diadakan dalam
keadaan berbalikan tadi. Konseli memanipulasi konselor dengan dua aslan yaitu
(1) Untuk memenuhi kebutuhan, dan bukan upaya unttuk mengentaskan masalah yang
dihadapi; (2) Untuk menetralisasi ancaman, hal ini dilakukan karena konseli
tidak berminat dan atau ketakutan terhadap proses konseling.
Adapun
beberapa contoh manipulasi konselor terhadap konseli misalnya (1) karena bosan
dan jengkel, konselor memberikan saran kepada konseli untuk beristirahat dan
menghentikan beberapa waktu proses konseling yang tengah dibangun. (2) konselor
yang membutuhkan afeksi dan kehangatan berdalih untuk berusaha mempraktikannya
dengan konseli. Padahal tujuannya adalah untuk kepentingan konselor; (3)
konselor berkeyakinan bahwa agama membawa masalah psikologis, sehiingga
konselor berusaha untuk menjauuhkan konseli pada keyakinan agamanya.
E. Penderitaan (Suffering
/ Psycological Bleeding).
Penderitaan yang dimaksud disini lebih kepada suasana
batin yang tercipta. Penderitaan dapat dirasakan oleh konselor maupun konseli.
Misalnya saja konseli yang mengalami penderitaan adalah mereka yang diajak oleh
konselor untuk Insight sehingga
konseli merasa sakit, atau misalnya konseli yang menerima saran untuk
berkembang padahal sebenarnya konseli ingin mempertahankan suasana yanga ada
dan sebaginya. Adapun conttoh penderitaan konselor adalah ia merasa ikut
kedalam suasan penderitaaan konseli, atau ia merasa frustasi dengan keadaan
karena proses konseling tidak menunjukan progresifitas yang memuaskan di mata
konselor.
Sikap besar hati dan kesadaran yang
mendalam adalah solusi untuk mengahdapi keadaan ini. Konselor dan konseli harus
sama-sam menyadari bahwa konseling adalah sebuah usaha yang berproses, jadi
perubahan perlu proses, dan tidak selamya proses yang dijalankan bermuara pada
hasil yang memuaskan. Ketawakalan kepada Allah SWT harus dimiliki konselor dan
konseli.
Keterlibatan Emosi antara Konselor dan konseli harus dilandasi Profesionalisme dan Komitmen yang kuat Sumber Gambar: http://esshintaku.files.wordpress.com/2014/01/counseling_psychologist.jpg?w=560 |
F. Hubungan yang Membantu Vs Tidak Membantu
Ada dua hubungan yang tidak membantu
dalam konseling yaitu:
- Distansi Emosi yaitu keadaan dimana konselor tidak mampu berempati secara baik kepada konseli. Konselor memposisikan diri sebagai tutor, director atau mentor.
- Kelekatan Emosi yaitu keadaan dimana konselor dan konseli terlaluu bergantung satu sama lain unituk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti rasa aman, cinta dan sebagainya. Siakp konselor misalnya saja bersikap parental ( Seolah-olah menjadi orang tua yang terlalu melinduungi); Fraternal (sahabat, dimana konselor hanya mendengarkan sebagai teman tanpa berusah mencari solusi terbaik); Romatic (romantis, diamana konselor dan atau konseli memposisikan partner konselingnya sebagai seorang kekasih). Adapaun sikap konseli misalnya ia berharap menjadi “pasien Favorit” konselor; ingin kontak antar sesi (misalnya melalui telepon, SMS, dan atau membawakan hadiah personal). Hal hal tadi dapat mengakibatkan konseling tidak berjalan dengan semestinya.
Adapun satu-satunya hubungan yang
membantu adalah keterlibatan emosi. Keterlibatan emosi yang dibangun
adalah emosi wajar bukan kelekatan atau
distansi emsosi. Emosi dilibatkan dalam konseling guna menibulkan suatu siakp
empati dan kesungguhan untuk mengentaskan masalah. Emosi yang hadir dikontrol
dan dikendalikan sehingga dapat menumbuhkan proses konseling yang positif.
G. Terminasi Konseling
Terminasi atau proses
penghentian/pemutusan konselingk adalah suatu upaya yang dilakukan oleh
konselor dan atau konseli untuk menetapkan diri bahwa proses konseling yang
telah dibangun ingin diakhiri. Terminasi ini sering menibulkan maslah, karena
anatar konselor dan konseli kadang tidak mengetaahui kapan waktu yang tepat
untuk mengakiri konseling. Konseli atau konselor banyaak yang berusaha
memutuskan sepihak untuk mengakhiri proses konseling, padahal masalah yang
dihadapi belum terentaskan. Hal ini menuntut komitmen bersama diantara konseli
dan konselor agar proses konseling tidak menimbulkan suatu ketidakjelasan dan
ketidaknyamanan baik pada diri konselor dan konseli.
Bornout Mengakibatkan Konseling yang di jalankan kehilangan maknaSumber Gambar: http://charlesmccaul.files.wordpress.com/2012/02/emotional-burnout.jpg |
H. Burnout
Burnout adalah keadaan dimana proses konseling yang dibangun kehilangan
esensinya dan seolah menjadi hubungan tanpa makna. Burnout ini dapat dipicu
karena terlalu lama, sering, panjang suatu proses konseling dan atau kekecewaan
yang timbul dari pihak yang terlibat dalam konseling. Burnot ini dapat diatasi
dengaan upaya menjalin hubungan yang harmonis, selaras dan seimbang diantara
konselor dan konseli.
Kiranya selain masalah diatas, masih
banyak masalah dalaam dunia konseling misalnya saja menyangkut iu etika,
profesionaalisme, dan berbagai hal lain. Masalah masalh ini perlu penjelasan
tersendiri secara mendalam dalam pembaahasan lain. Pada dasarnya masalah yang
timbul tidak boleh membuat kecil hati para konslor, calon konselor dan konseli.
Semuaa yang terlibat dalam proses konseling harus meyakini bahwa manusia hanya
berikhtiar dan ddtuntut untuk berusah mengerjakan segalanya dengan
sebaik-baiknya. Adpun masalah hasil akhir kita semua berkewajiban untuk
bertawakal kepada Allah azawajalla. Karena pada hakikatnya hanya Allah SWT-lah
sang “Maha Konselor”.
Daftar Pustaka
Kemendikbud. 2013. Permendikbud Nomor 81.A tahun 2013 tentang
Implementasi Kurikulum (lampiran IV). Padang: Prodi Bimbingan dan Konseling FIP UNP. (Tidak
diterbitkan).
Anoname. -- . Profesionalisasi
Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta : P2LPTK.
Lesmana, Jeanette Murad. 2013. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press).
Chaplin, J.P. 2011. Kamus
Lengkap Psikologi Terj. Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers.
Prayitno dan Erman Amti. 2009. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Cavangh. 1982. The
Counselling exsperience. A thoritical and Practicall Approach. Belmond, CA:
Wadsworth Inc.
.Sukardi, Dewa Ketut. 2002.
Pengantar Pelaksanaan Pogram Bimbingan dan Konseling di Sekolah.
Jakarta: Rineka Cipta.
Wardati dan M. Jauhar. 2011. Implementasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Prestaki
Pustaka Publishing.
0 komentar:
Posting Komentar