Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 02 Oktober 2014

PERMASLAHAN YANG MUNCUL DALAM PELAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI INSTANSI PENDIDIKAN



Meninjau Ke Belakang Mengenai Profesi Konselor
            Kelahiran kurikulum 2013 membawa angin segar untuk profesi konselor. Kenapa begitu? Tentu alasannya karena Kurikulum 2013 memberikan arahan yang nyata dalam pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yan akan dijalankan di instansi pendidikan. Melalui Lampiran IV A Implementasi Kurikulum 2013, profesi konselor diakui secara jelas sebagai pelaksana layanan dan bimbingan di satun pendidikan.
            Kita telah maphum bersama bahwa profesi konselor lahir pertama kali di Amerika serikat pada awal abad ke 20 (Shertzer dan Stone dalam Raka Joni, 1987 : 1). Latar belakang lahirnya konseling pada saat itu adalah keterkejutan orang Amerika atas persaingan dalam berbagai bidang dengan Uni Soviet. Salah satu kemajuan tersebut adalah dalam bidang peluncuran satelit ke luar angkasa. Orang Amerika bertekad untuk mengejar kemajuan yang dicapai oleh Uni Soviet dengan segenap potensi yang ada. Salah satu yang didorong untuk mengembangkn potensi secara maksimal adalah peserta didik yang masih di bangku SMA. (Ibid, 1987: 1).
            J. M. Lesmana (2013: 7) menjelaskan bahwa konseling berasal dari gerakan Guidance. Yang memfokuskan pada megajar anak-anak dan orang dewasa muda tentang dirinya sendiri, orang lain dan dunia kerja. Sukardi (2002 : 2) menjelaskan bahwa permulaan gerakan ini adalah dengan didirikannya “Vocational Bureau” tahun 1908 oleh Frank Person. Frank Person sendiri kemudian dikenal dengan The Father of Guidance. Parson menekankan pentingnya setiap individudiberikan pertolongan agar mereka dapt mengenal atau memahami berbagai kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan agar dapat dipergunakan secara intelegensi dalam memilih pekerjaan yang tepat bagi dirinya.
Perkembangan terus berlanjut, akhirnya pada 1913 terbentuklah “National Vocational Guidance Association (NVGA).” Dua tahun setelah pendiriannya, NVGA mulai menerbitkan buletin mengenai konseling yang sekaligus menjadi literatur yang mengidentifikasi profesionalisme gerakan konseling ini. Pada Perang Dunia I, terdapat moment penting dimana U.S. Army menyaring personelnya dimana salah satu alat seleksi tersebut menggunakan berbagai macam instrument psikologi. Instrumet itu setelah Perang Dunia I digunakan di kalangan sipil dan kemudian gerakan psikometri menjadi popular. Sekitar pertengahan 1920, sertifikasi konselor mulai diberlakukan di Amerika. Sepuluh tahun kemudian E.G Williamson dk mengembangkan teori konseling pertaman. Pada Perang Dunia II pemerintah Amerika memerlukan konselor dan psikolog untuk membantu menyeleksi dan melatih spesialis-spesialis di bidang militer dan industri. (J. M. Lesmana, 2013 : 8).
Pasca PD II ini, profesi konselig mulai menyebar ke seuruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Di Indonesi kelahiran Bimbingan dan konseling dimuali dengan lahirnya Institut keguruan dan ilmu pendidikan (IKIP) sebagai gabungan IPG dan FKIP pada tahun 1963.  Pada tahun yang sama lahir pula dari jurusan bimbingan dan penyuluhan. Perkembangan kemudian adlah dengan diberlakukannya Kurikulum SMA Gaya Baru 1964, dengan keharusan pelaksanaan bimbingan dan konseling (bimbingan dan konseling pad masa itu masih bernama bimbingan dan penyuluhan). Kurikulum 1968 kemudian lahir menggantikan kurikulum lama dan proses bimbingan dan konseling juga mengalami berbagai penyempurnaan dari tahun seelumnya. Tahun 1975 lahirlah IPBI sebagai ikatan profesi konselor pada masa itu (Dewa Ketut, 2002 : 8).  Penyempurnaan terus berjalan sampai sekarang melalui kurikulum 2013.

Berawal dari Tinjauan diatas
            Jika dilihat dari tinjaun diatas tentu saj dunia konseling lekat dengan pemberian layanan di Instansi pendidikan, meskipun pada kenyataannya dewasa ini konselor juga banyak yang meniti karir di luar Instansi Pendidikan. Banyak faktor yang mengakibatkan “sang konselor” tidak meniti karir di Sekolah. Mulai dari masalah gaji, beban kerja, beratnya tanggung jawab, dan bakan kerena banyaknya masalah yang di hadapi di instansi pendidikan.
            Misalnya saja jika di urai dari awal, banyak sekali kesalah pahaman yang muncul dalam memandang profesi konselor. Untuk istilah konseling saja, mash banyak yang bias dan menganggap simpang siur antara istilah penyuluhan dan konseling iu sendiri. Padahal tentu diantara keduanya sangat jelas bisa dibedakan. (Prayitno dan Amti, 2009: 120). Kesalah phaman tidak berhenti sampai disana, Pryitno dan Amti (2009, 121-129), mengemukakan bahwa setidaknya ada 15 kesalahpahaman dalam memandang Profesi konselor. Kesalahpahaman itu ialah:

  1. Bimbingan dan Konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan;
  2. Konselor di Sekolah dainggap sebagai Polisis Sekolah;
  3. Bimbingan dan Konseling dianggap sebagai semata-mata proses pemberian nasihat;
  4. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya mengenai masalah yang bersifat insidental;
  5. Bimbingan dan Konseling di batasi hanya untuk klien-klien tertentu saja;
  6. Bimbingan dan Konseling melayani “Orang Sakit” dan atau “Kurang Normal”;
  7. Bimbingan dan Konseling bekerja sendiri;
  8. Konselor harus aktif sedangkan pihak lain harus pasif;
  9. Menganggap pekerjaan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan oleh siapa saja;
  10. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama saja;
  11. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan dokter atau psikiater;
  12. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera dilihat;
  13. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien;
  14. Memusatkan usaha bimbingan dan Konseling hanya pada pengunaan Instrumentasi Bimbingan dan Konseling (Misalnya Tes Inventori, Angket dan sebagainya);
  15. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menanganai masalah-masalah ringan saja.


Untuk point sebelas, dimana profesi konselor masih dianggap sama dengan profesi psikiater atau psikolog maka sebenarnya kita dapat menganalisis perbedaan dianatar ketiganya. Adapun perbedaanya dpat dilihat pada tabel berikut ini:



No
Karakteristik Layanan
Konselor
Dokter [1]/Psikiater
Psikolog
1
Pendidikan dan Latar Belakang Keilmuan
S1 BK/S2 BK + Profesi Konselor
S1 Kedokteran + Spesialis Kesehatan Jiwa
S1 Psikologi /S2 Psikologi +Profesi Psikolog
2
Gelar Akademis
S.Pd, Kons./
M.Pd, Kons/
M.A in Counselling.
Dr. Sp. KJ
S.Psi, Psikolog/ M.Psi, Psikolog
3
Fokus Kerja
Individu Normal  bermasalah (cakupan pelayanan lebih luas dari pada guru BK)
Individu yang mengalami gangguan kejiwaan dikarenakan perubahan-perubahan biologis atau fisiologis yang terjadi dalam diri individu
Individu yang bermaslah dikarenakan adanya kondisi kejiwaan yang tidak berjalan baik di dalm dirinya.
4
Rujukan Pelayanan
Memberikan konseling berdasarkan berdasarkan keilmuan konseling.
Memberikan resep obat-obatan untuk mengembalikan fungsi biologis dan atau fisiologis.
Memberikan pelayanan dan analisis kejiwaan berdasarkan pola asuh, analisis tumbuh kembang dan lain-lain.
5
Asumsi Dasar Layanan
Setiap manusia memiliki kapasitas penuh untuk menentukan hidupnya ke arah yang positif dan konstruktif
masalah kejiwaan manusia disebabkan karena atau menyebabkan ketidakseimbangan fungsi-fungsi fisiologis (neurotransmiter, hormon, dsb.)
 setiap manusia memiliki kapasitas untuk berpikir dan menentukan apa yang terbaik bagi dirinya
6
Asosiasi Profesi di Indonesia
ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia)
PDSKJI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia)
HIMPSI (Himpunan Psikolog Indonesia)


[1] Dokter dalam hal ini adalah mereka yang telah menempuh spesialis kesehatan jiwa (Sp.K.J) atau yang kemudian dikenal dengan psikiater. Dokter umum tidak dapat dibandingkan dengan jelas dengn profesi konselor.
       J.M Lesmana menjelaskan bahwa profesi konselor mungkin akan menemui beberapa masalah. Masalah itu diantaranya adalah:
Kebosanan dapat menyerang Konseli dan Konselor
Sumber Gambar: http://thewvsr.com/wp-content/uploads/2012/04/bored1.jpg
A.Kebosanan.
Cavanagh dalam J.M Lesmana (2013:71-73) menjelaskan bahwa konselor pemula jarang mengalami kebosanan karena sifat baru dari pekerjaan mereka. Konselor pemula akan dipertemukan dengan berbagai masalah yang beragam yang menuntut cara penyelesaian yang bervariasi pula. Namun, seperti halnya tingkah laku lain yang terus berulang, konseling dapat membosankan. Misalnya saja, setelah konselor bertemu dengan konseli yang mengeluh depresi ia kehilangan antusias dan konselor seolah-olah telah paham bentul dengan masalah yang dipaparkan. Kebosanan juga tidah hanya dapat dirasakan oleh konselor namun juga oleh konseli. Masalaah yang mungkin timbul karena adanya kebosanan:
  1. Konselor mengambil jarak dari konseli, sehingga konseli kehilangan rasa aman dan rasa diterima padahal hal ini penting untuk proses konseling.
  2. Konselor terkadang mengambil carra negtif untuk menyelesaikan kebosanannya, misalnya saja dengan day dreaming. Konselor juga setelah mengalami kebosana banyak yang seolah mendengar dengan “sebelah telinga” saja. Ia memberikan impresi yang menunjukan atentif namun kebanyakan tidak alami, bahkan ada yang seolah “menyerang konseli” supaya konseling berlangsung menyenangkan.
  3. Konselor dapat kehilangan informasi penting (kehilangan esensi) dari proses konseling serta dari masalah yang akan dientaskan. Hal ini karena konselor kurang perhatian, kurang konsentrasi dan mungkin malah memikirkan masalahnya sendiri.
Ada beberapa solusi untuk menyelesaikan masalah kebosanan ini, diantaranya:
  • Mengkomunikasian perasaan konselor dengan baik. Misalnya jika sedang dilanda kebosanan konselor mengkomunikasikannya dengan berkata “maaf saya baru tidak konsentrasi hari ini.”
  • Mengatur jadwal agar proses konseling dilakukan pada jam-jam ketika konselor dalam posisi “awas”.
  • Konselor juga dapat memecahkan kebosanan dengan memberi tugas kepada konseli untuk membaca dan atau membuat catatan-catatan mengenai perasaan, masalah, perkembangan konseling dan sebagainya yang kemudian akan di bicarakan pada sesi konseling selanjutya.
  • Konseler harus peka dan instropeksi bahwa mungkin saja sesi konseling yang membosankan timbul dikarenakan beberapa sikap konselor yang salah, misalnya terlalu banyak bicara dan ataau terlalu fokus kepada satu teori yang disukai konselor.
B. Hostilitas
J.P. Chaplin (2011: 230) menjelakan mengenai makna hostilitas (hostility) dalam Bahasa Indonesia hostilitas dimaknai dengan permusuhan, namun makna yang mendalam dari hostilitas adalah kecenderungan ingin menimbulkan kerugian, kejahatan, gangguan atau kerusakan pada orang-orang lain, kecenderungan melontarkan rasa kemarahan pada orang lain. Dari pemaknaan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud hostilitas adalah keadaan diaman si konselor atau konseli menyerang, merepleksikan permasalahan yang dihadapinya (baik kejiwaan atau lain sebagainya), atau yang dihadapi orang lain kepada orang yang tidak tepat.
  1. Banyak sekali faktor yang memungkinkan munculnya hosttilitas diantaranya:
  2. Hostilitas muncul sebagai upaya menutupi ketakutan yang mendalam terhadap sesuatu proses konseling.
  3. Hostilitas muncul dari Frustrated need (resistansi/daya tahan terhadap stres rendah).
  4. Hostilitas muncul sebagai bentuk simbolisasi dari konflik internal atau ekternal dari diri konseli/konselor.
  5. Hostilitas juga mungkin mncul dari tekanan yang sangat intens (Intense Pressure).
  6. Hostilitas muncul karena konselor hanya melihat satu sisi saja dari konseli.

       Konselor banyak sekali yang menjadi korban hostilitas dari konseli. Proses konseling yang kadang mengakibatkan munculnya inside (tilikan) mendalam mengakibatkan konseli menganggap bahwa konselorlah yang membawanya kembali ke masalah yang ia tidak sukai. Konselor harus berusaha memahami berbagai kemungkinan yang mengakibatkan ia menjadi sasaran hostilitas. Konselor juga harus mewaspadai berbagai kemungkinan yang menyebabkan ia menumpahkan hostalitas kepada konselinya.
C. Berbagai Kesalahan Konselor
       Nuansa pekerjaan konselor yang menghadapkan ia pada berbagai analisis pribadi yang beragam yang sulit diukur dengan tepat, dan sulit dipahami dengan tepat sangat rentan menebaak konselor dalam suatu kekeliruan atau kesalahan. Kesalahan penafsiran, kesalahan dalam menetukan arahan, kesalahan dalam memahami berbagai perasaan klien merupakan beberapa kesalahan yang mungkin terjadi. Kesalahan yang terjadi harus disadari dan dijadikan sebuah pembbelajaran yang bererati. J.M Lesmana (2013: 76) menguraikan berbagai langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi kesalahan. Langkah itu meliputi:
  1. Salah satu kesalahan konselor adalah lemah dan tidak tegas. Konselor yang tidak tegas dan terlalu menuruti konselinya dapat menyebabkan permasalahan menjadi berlarut-larut dan tidak cepat terentaskan.
  2.  Kesalahan lain yang biasa ditemui dalam diri konselor adalah konselor tidak mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Cavanagh (1982) mengatakan bahwa konselor yang sudah pakar pun tidak ada jaminan untuk tidak berbuat salah. Perbedaan diantara konselor yang efektiv atau tidak efektiv adalah bukan tiadanya kesalahan yang dibuat. Namun mau attau tidaknya mengakui dan memperbaiki kesalahan yang sudah di buat.
Ada 4 cara konselor tidak mengakui keslahan yaitu (1) tidak pernah mengambil resiko; (2) menyangkal bahwa ada masalah di dalam konseling; (3) masalah yang timbul merupakan masalah konseli; (4) percaya pada mitos (dogma) bahwa dalm konseling “tidak ada kesalahan”.
            Konselor yang efektiv mengakui bahwa membuat kesalahan karena 4 alasan yaitu (1) mereka jujur, dan kejujuraan menuntut untuk mengakui kesalahan; (2) orang yang terlibat dalam konseling (konselor maupun konseli) harus sama sama memahami jika terjadi kesalahan, pemahaman dilanjutkan dengan menganalisa siapa yang mebuat kesalahan itu, analisa kesalahan ini bertujuan untuk mengkoreksi dan melakukan perbaikan sehingga kesalahan yang sama bisa dihindari; (3) konselor mengakui kesalahannya sebagai cara untuk mengajar konseli bahwa kesalahan bisa dditerimadan pentingnya untuk mengakui kesalahan itu kepada orang lain; (4) konselor tahu bahwa konseli mengetahui konselor telah berbuat satu kesalahan sehingga konseli menungggu konselornya unttuk merasa nyaman dan mengakui kesalahan tersebut.
     D. Manipulasi
            Manipulasi atau pengelabuan dan pencurangan merupakan kesalahn yang juga sering terjadi dalam konseling. Manipulasi ini dapat terjadi dari konselor terhadap konseli dan atau sebaliknya. Konseli banyak yang memanipulasi masalahnya, seolah-olah masalah yang sedang dihadapi adalah masalah rumit, terlalu sulit dipecahkan dan sebagainya, manipulasi juga bisa diadakan dalam keadaan berbalikan tadi. Konseli memanipulasi konselor dengan dua aslan yaitu (1) Untuk memenuhi kebutuhan, dan bukan upaya unttuk mengentaskan masalah yang dihadapi; (2) Untuk menetralisasi ancaman, hal ini dilakukan karena konseli tidak berminat dan atau ketakutan terhadap proses konseling.
            Adapun beberapa contoh manipulasi konselor terhadap konseli misalnya (1) karena bosan dan jengkel, konselor memberikan saran kepada konseli untuk beristirahat dan menghentikan beberapa waktu proses konseling yang tengah dibangun. (2) konselor yang membutuhkan afeksi dan kehangatan berdalih untuk berusaha mempraktikannya dengan konseli. Padahal tujuannya adalah untuk kepentingan konselor; (3) konselor berkeyakinan bahwa agama membawa masalah psikologis, sehiingga konselor berusaha untuk menjauuhkan konseli pada keyakinan agamanya.
E. Penderitaan (Suffering / Psycological Bleeding).
       Penderitaan yang dimaksud disini lebih kepada suasana batin yang tercipta. Penderitaan dapat dirasakan oleh konselor maupun konseli. Misalnya saja konseli yang mengalami penderitaan adalah mereka yang diajak oleh konselor untuk Insight sehingga konseli merasa sakit, atau misalnya konseli yang menerima saran untuk berkembang padahal sebenarnya konseli ingin mempertahankan suasana yanga ada dan sebaginya. Adapun conttoh penderitaan konselor adalah ia merasa ikut kedalam suasan penderitaaan konseli, atau ia merasa frustasi dengan keadaan karena proses konseling tidak menunjukan progresifitas yang memuaskan di mata konselor.
       Sikap besar hati dan kesadaran yang mendalam adalah solusi untuk mengahdapi keadaan ini. Konselor dan konseli harus sama-sam menyadari bahwa konseling adalah sebuah usaha yang berproses, jadi perubahan perlu proses, dan tidak selamya proses yang dijalankan bermuara pada hasil yang memuaskan. Ketawakalan kepada Allah SWT harus dimiliki konselor dan konseli.
Keterlibatan Emosi antara Konselor dan konseli harus dilandasi Profesionalisme dan Komitmen yang kuat
Sumber Gambar: http://esshintaku.files.wordpress.com/2014/01/counseling_psychologist.jpg?w=560
F. Hubungan yang Membantu Vs Tidak Membantu
            Ada dua hubungan yang tidak membantu dalam konseling yaitu:
  1. Distansi Emosi yaitu keadaan dimana konselor tidak mampu berempati secara baik kepada konseli. Konselor memposisikan diri sebagai tutor, director atau mentor.
  2. Kelekatan Emosi yaitu keadaan dimana konselor dan konseli terlaluu bergantung satu sama lain unituk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti rasa aman, cinta dan sebagainya. Siakp konselor misalnya saja bersikap parental ( Seolah-olah menjadi orang tua yang terlalu melinduungi); Fraternal (sahabat, dimana konselor hanya mendengarkan sebagai teman tanpa berusah mencari solusi terbaik); Romatic (romantis, diamana konselor dan atau konseli memposisikan partner konselingnya sebagai seorang kekasih). Adapaun sikap konseli misalnya ia berharap menjadi “pasien Favorit” konselor; ingin kontak antar sesi (misalnya melalui telepon, SMS, dan atau membawakan hadiah personal). Hal hal tadi dapat mengakibatkan konseling tidak berjalan dengan semestinya.

            Adapun satu-satunya hubungan yang membantu adalah keterlibatan emosi. Keterlibatan emosi yang dibangun adalah  emosi wajar bukan kelekatan atau distansi emsosi. Emosi dilibatkan dalam konseling guna menibulkan suatu siakp empati dan kesungguhan untuk mengentaskan masalah. Emosi yang hadir dikontrol dan dikendalikan sehingga dapat menumbuhkan proses konseling yang positif.
     G. Terminasi Konseling
            Terminasi atau proses penghentian/pemutusan konselingk adalah suatu upaya yang dilakukan oleh konselor dan atau konseli untuk menetapkan diri bahwa proses konseling yang telah dibangun ingin diakhiri. Terminasi ini sering menibulkan maslah, karena anatar konselor dan konseli kadang tidak mengetaahui kapan waktu yang tepat untuk mengakiri konseling. Konseli atau konselor banyaak yang berusaha memutuskan sepihak untuk mengakhiri proses konseling, padahal masalah yang dihadapi belum terentaskan. Hal ini menuntut komitmen bersama diantara konseli dan konselor agar proses konseling tidak menimbulkan suatu ketidakjelasan dan ketidaknyamanan baik pada diri konselor dan konseli.
Bornout Mengakibatkan Konseling yang di jalankan kehilangan maknaSumber Gambar: http://charlesmccaul.files.wordpress.com/2012/02/emotional-burnout.jpg
     H. Burnout
            Burnout adalah keadaan dimana proses konseling yang dibangun kehilangan esensinya dan seolah menjadi hubungan tanpa makna. Burnout ini dapat dipicu karena terlalu lama, sering, panjang suatu proses konseling dan atau kekecewaan yang timbul dari pihak yang terlibat dalam konseling. Burnot ini dapat diatasi dengaan upaya menjalin hubungan yang harmonis, selaras dan seimbang diantara konselor dan konseli.
            Kiranya selain masalah diatas, masih banyak masalah dalaam dunia konseling misalnya saja menyangkut iu etika, profesionaalisme, dan berbagai hal lain. Masalah masalh ini perlu penjelasan tersendiri secara mendalam dalam pembaahasan lain. Pada dasarnya masalah yang timbul tidak boleh membuat kecil hati para konslor, calon konselor dan konseli. Semuaa yang terlibat dalam proses konseling harus meyakini bahwa manusia hanya berikhtiar dan ddtuntut untuk berusah mengerjakan segalanya dengan sebaik-baiknya. Adpun masalah hasil akhir kita semua berkewajiban untuk bertawakal kepada Allah azawajalla. Karena pada hakikatnya hanya Allah SWT-lah sang “Maha Konselor”.

Daftar Pustaka
Kemendikbud. 2013. Permendikbud Nomor 81.A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum (lampiran IV). Padang: Prodi Bimbingan dan Konseling FIP UNP. (Tidak diterbitkan).
Anoname. -- . Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta : P2LPTK.
Lesmana, Jeanette Murad. 2013. Dasar-dasar Konseling. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Chaplin, J.P. 2011. Kamus Lengkap Psikologi Terj. Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers.
Prayitno dan Erman Amti. 2009. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Cavangh. 1982. The Counselling exsperience. A thoritical and Practicall Approach. Belmond, CA: Wadsworth Inc.
.Sukardi, Dewa Ketut. 2002. Pengantar Pelaksanaan Pogram Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Wardati dan M. Jauhar. 2011. Implementasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Prestaki Pustaka Publishing.
 


0 komentar:

Posting Komentar